Pertama kali aku coba membuka mataku, terasa silau. Lampu terlihat berjalan di depanku, dari atas ke bawah. Aku benar-benar tidak tahu di mana aku. Ada yang terasa aneh di sini. Di sebelah kiri dan kanan banyak orang, tapi aku tak bisa melihat mereka, kira-kira ada tiga orang berdiri dan mendorong sesuatu di sebelah kanan, dan dua orang di sebelah kiri. tiga orang diantara mereka menggunakan pakaian putih. Lalu aku tak kuat untuk membuka mata, entah kenapa saraf mataku terasa lelah untuk bisa membuka mata. Akupun beristirahat memejamkan mata.
MASIH BANYAK BUNGA DI TAMAN MENANTI KUPU-KUPU
Siang itu memang siang yang panas, seperti biasa aku sudah ada di warung pak Sulaiman. Warung itu menjadi tempat perkumpulan mahasiswa jurusan manajemen di kampusku. Ya, aku sendiri sudah 2 semester berdiri di sini. Mahasiswa manajemen, yang berasal dari jurusan IPA sewaktu SMA. Disayangkan sekali ilmu IPAku aku buang sia-sia, bukan karena tidak ingin mengembangkan diri, tapi aku gak bisa masuk ke jurusan yang aku mau, Teknik Elektro. Entah kenapa aku gak bisa masuk ke jurusan itu. Aku selalu berada di sepuluh besar sewaktu SMA. Aku merasa harusnya aku bisa masuk ke situ? Yah yang namanya hidup, who knows? Well bullshit sama semuanya, aku sudah berada di sini, IPku di atas tiga setengah jadi aku sudah mantap lanjut di jurusan ini.
Panasnya kampusku yang gersang membuat warung itu menjadi tempat peraduan para jejaka yang sedang mencari belaian dari kesegaran minuman-minuman yang ada di sana. Es kelapa muda, dawet, soda gembira, menjadi pesanan utama anak-anak. Pesananku hari ini adalah segelas es teh, ditemani dengan dua bungkus kacang goreng yang biasa digantung di atas warung dengan tali rafia. Harga untuk sebungkusnya lima ratus perak. Ya jujur aku harus bilang hari ini aku bokek, bayangkan fotokopi materi untuk satu matakuliah sudah menghabiskan tiga puluh persen uang jajanku untuk satu hari. Dan sialnya salah satu sahabatku tidak membawa duit untuk fotokopi. Yah karena rasa dermawan yang tinggi aku sudah terbiasa untuk meminjamkan duit itu. Meskipun akhirnya aku juga mengeluh dan menyesal atas apa yang aku lakuin. Tapi gakpapalah, itung-itung aku juga seneng bisa membantu orang. Es teh buatan Mirna, anak Pak Sulaiman datang, terlihat embun yang menetes di pinggiran gelas itu memanggilku. Memberikan janji kenikmatan dan kesegara tersendiri. Bayangkan saja hari ini aku merasa matahari terlihat manis padaku, ia memberikan senyuman terlebarnya padaku. Sehingga giginya yang begitu silau memantulkan sinar yang begitu terang pada dunia ini. Oh panasnya hari ini! Setengah bungkus kacang yang aku makan aku pinggirkan, kuambil gelas itu dan ku tempelkan pada kepalaku. Itu adalah ritualku sebelum meminum sesuatu. Tentu saja tidak! Aku merasa kepalaku sudah panas. Setelah mendinginkan kepalaku itu, aku minum es itu perlahan-lahan. Ah segarnya, kesegaran yang tiada tara diantara kegersangan kampusku. Di fakultas ekonomi ini hanya terdapat satu buah taman yang indah dan sejuk, namun itu letaknya agak jauh. Letak taman itu ada di dekat prodi diploma pemasaran. Kira-kira butuh lima menit untuk kesana, dan rintangan terberatnya adalah, melewati padang gurun tandus yang hanya ada tiga buat pohon tidak terlalu besar. Lima belas menit aku sudah ada di warung Pak Sulaiman. Aku di sini menunggu sahabat karibku, Udjo. Aku toleh kanan kiri tidak kulihat lelaki kurus, dengan rambut keriting tapi tidak terlalu panjang itu. Lima menit lebih aku lewati lagi, es teh sudah terisi penuh kembali di gelasku. Tak lama aku mendengar suara bising, aku mengenal suara itu, tidak asing. Aku lihat laki-laki bertubuh ceking, dengan memakai kacamata hitam, dan jaket dari bahan jeans berwarna biru turun dari sana. Aku tahu siapa dia, tapi aku kaget dan berpikir sejenak
“Halo brur... sorry lama men” pria itu melambaikan tangan sambil menyapaku.
“aku mimpi ini? Ngapain kamu pake kostum ini, mau ada pesta kebun? Dari mana aja djo?”
Aku sambil melihat dandanan Tardjo Saudjo, dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Aku teringat foto bapakku di rumah. Fotonya di dekat mobil jeep tua milik kakek yang masih tersimpan di garasi. Bapak memakai pakaian yang mirip dengan Udjo. Ia berpose dengan kaki diangkat dan diletakkan di atas ban, kacamata hitamnya dikaitkan di saku bajunya. Waktu itu bapak masih berambut panjang, hampir miri afro. Tapi gaya rambut itu memang lagi ngetren di masa itu.
“Woy! Gak usah segitunya kali.., aku ini mau pergi sama si novi, hahaha aku pengen buat dia kaget liat dandananku, maunya sih kalo dia gak suka, dia ngambek trus aku godain deh dia, hahaha!”
Aku pun hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Djo...,djo... Saudjo, udah berapa kali kamu itu buat dia ngambek, ntar dia minta putus beneran kapok kamu! Tapi kali ini aku kasih jempol, kalo liat gini ada dua kemungkinan sih, kalo dia gak ngambek, dia pasti ketawa terkencing-kencing! Bayangin aja cowok muka tujuh puluhan kayak kamu, bikin ulah yang kesekian kali.”
“Ya, terserah mau ente, ente bilang apa, ini cara gue bikin pacar gue seneng, secara gue usil bin jahil.”
Udjo duduk di sebelahku, ia menyebrangkan kakinya dan duduk di kursi kayu panjang di depan meja yang ada di warung Pak Sulaiman.
“Mbak Mirr.., es teh satuu...” suara Udjo memesan es teh belagak burung beo yang mengoceh.
“Nggih mass... sekedap.” Sahut mbak mir. Udjo menepuk punggungku dua kali.
“Kapan jagoan kita yang satu ini mau cari cewek? Masa jomblo terus? Yang dipikirin Cuma himpunan lah, seminar lah, fotografi, gak ada yang berbau cewek gitu? Jangan-jangan jagoan ini sudah bener-bener jadi jagoan alias mahomen! Hahahaha!!”
“eits, jangan buka kedok dong..., aku kan masih dalam tahap transisi jadi Mahomen.”
Aku meminum kembali es tehku satu tegukan. Tidak terasa manis, es batu yang tadi sudah agak mencair, gula yang ada juga sudah mengendap. Sesekali aku mengaduk es teh itu.
“Masih belum ada yang pas djo. Tapi kan fotografi berbau cewek men! Ah gimana sih gak artistik banget kamu. Dasar manusia djadul. Pithecantopus Saudjo!!”
“Alah... ngomong aja gak laku susah banget. Lagian kamu fotografi juga fotoin pemandangan, objek lain selain manusia, gedung lah, pohon, danau, ah gak seru!! Sekali-kali cewek cantik, ajak lah siapa gitu Susi anak psikolog, apa Hani anak kimia itu, kan cantik tuh, bodynya juga model banget. Yang penting jangan novi sayangku...”. Celoteh Udjo
“Ini mas Udjo, es tehnya...” mbak Mirna sudah selesai membuatkan es teh untuk Udjo.
“Makasih mbak yo... eh mbak, sek... es tehnya ini gulanya banyak ndak?”
“memangnya kenapa to mas? Itu cukupan kok.” Jawab mbak Mirna.
“ndak papa mbak, klo banyak-banyak gak enak, kan aku udah manis.” Sahut Udjo.
Aku hanya tersenyum melihat sahabatku yang satu ini. Udjo adalah sahabat terbaik yang pernah ada. Karena ada saja ulahnya yang bikin aku ketawa. Mungkin inilah yang buat dia lebih “laris” daripada aku. Tentu saja tidak kawan! Aku gak jelek-jelek amat! Aku pernah ikut kontes model kampus, dan aku jadi juara tiga. Bayangin juara tiga, berarti aku gak jelek-jelek amat kan? Ya mungkin aku hanya tidak sedang ingin menjalin hubungan dengan seorang gadis.
“coy!” Udjo menepuk punggungku dengan keras.
“woootss, ngagetin djo, mau buat aku sport jantung? Asem dah!”
“yah kamu ngelamun, kesambet tau rasa men, kenapa sih sahabatku nyang satu ini, imut deh kalo ngelamun.” Sahut udjo
Aku bener-bener kaget, Udjo emang kurang ajar banget, dan mukanya yang sok manis dan imut itu bikin aku tambah gemes melihatnya.
“ah males dah, heh kamu kapan janjian sama Novi? Udah sana enyah dari sini, udah ditungguin.”
“ya mangkanya itu, aku ini mau capcus men. Kan harus pamit dulu sama bosnya, hahahaha! Udah ya bro aku tinggal dulu. Mbak Mirr... uangnya aku tinggal di meja, makasih ya.” Udjo meletakkan dua lembar uang seribu rupiah. Ia berdiri sambil menepuk pundakku.
“Semangat jagoan, banyak bunga di taman yang menanti kupu-kupu.” Semangat dari Udjo.
“Iya, udah sana pergi, kasihan cewekmu nunggu tuh, nanti aku jadi domba hitam lagi, orang ganteng kaya gini masa disamain sama domba hitam.”
“hahaha oke bro...”
Udjopun enyah dari hadapanku, aku kembali menikmati sisa es tehku, sambil berpikir apa yang bisa aku lakuin setelah ini. Hari ini kuliah hanya sampai pukul sepuluh pagi, dan aku malas banget untuk pulang ke rumah. Di tegukan terakhir aku terpikir untuk memotret di taman fakultas.